
Aturan untuk lulus SMA sebelum menikah diterapkan oleh
Supoyo di Desa Ngadisari pada tahun 2011 lalu ketika masih menjabat sebagai
kepala desa. Hal ini dilakukannya untuk demi meningkatkan kualitas warga. Supoyo
menyadari bahwa desa yang terletak di kompleks Gunung Bromo, salah satu
destinasi wisata populer di Indonesia, ini menyimpan potensi wisata dan
pertanian yang besar yang harus dipertahankan hingga masa depan.
Oleh karena itu, Supoyo melihat, pendidikan adalah
satu-satunya cara membuat warga lebih kompetitif di tengah cepatnya perubahan
jaman.
"Mereka tidak akan berpikir untuk melanjutkan sekolah
kalau mereka menikah lebih dulu," kata Supoyo ketika ditemui BBC
Indonesia. "(Untuk menjadi) perangkat desa saja misalnya, syarat
pendidikannya lulus SMA. Apa (bisa) masuk mereka yang hanya lulus SMP? Ketika
tidak masuk (kualifikasi), kasihan mereka yang sebetulnya punya potensi,"
tambahnya kemudian.
Berdasarkan undang-undang, pemerintah masih mensyaratkan
wajib belajar sembilan tahun secara nasional. Beberapa upaya peningkatan memang
sudah dilakukan, termasuk peluncuran Pendidikan Menengah Universal (PMU) oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2012 lalu. Dalam skema yang dianggap
sebagai rintisan dari wacana wajib belajar 12 tahun ini, sekolah menengah atas
mulai mendapat dana bantuan secara nasional.
Di beberapa provinsi, seperti DKI Jakarta dan Sumatera
Selatan, misalnya, wajib belajar 12 tahun sudah dicanangkan secara lokal.
Namun, upaya ini dianggap belum maksimal menurut sejumlah pengamat karena angka
partisipasi kasar sekolah menengah pada 2015-2016 baru sekitar 75,46 persen.
Tidak nikah muda
Supoyo, mantan Kepala Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura,
Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, yang menerapkan aturan kepada warganya tak
boleh menikah sebelum lulus SMA.(dok.BBC Indonesia) Menurut Supoyo, bukanlah kemiskinan yang dulu membuat banyak anak-anak
di Desa Ngadisari putus sekolah. Penduduk desa, lanjutnya, sebetulnya
punya kemampuan ekonomi yang cukup karena kebanyakan dari mereka memiliki
ladang perkebunan, tetapi sayangnya banyak warga berpikir bahwa sekolah tidak
penting.
"Ini tentang mengubah pemikiran," katanya. "Sangat
disayangkan kalau anaknya malas-malasan sekolah karena ada anggapan untuk apa
sekolah kalau ujung-ujungnya pulang (bertani)?" tambahnya kemudian.
Untungnya, anggapan itu pelan-pelan berubah. Anak-anak
kembali ke sekolah dan orang-orang yang lebih tua diikutkan program kejar paket
A, B, dan C (SD hingga SMA).
Dengan menjadikan pendidikan sebagai syarat menikah, aturan
ini juga mengajak anak-anak muda untuk tidak menikah di usia yang terlalu dini.
"Akan lebih baik nikah saat dewasa, kalau yang muda itu
kan bisanya hanya nangis ketika anaknya nangis ya nangis semua," kata
Supoyo. Salah seorang penduduk desa, Yuharliana Eka Swastikawati yang berusia
22 tahun setuju dengan pendapat itu. Wati begitu dia kerap disapa sudah
berkomitmen dengan kekasihnya, Aji Santo, untuk menikah setelah dia lulus
sarjana.
"Setelah lulus SMA, pemikiran saya itu belum matang.
Saya berpikir kalau menikah sebelum SMA bagaimana? Pasti masih merepotkan
orangtua," katanya. Aji Santo (25) lulusan SMA yang kini bekerja di ladang
dan menjadi pengelana kuda di Gunung Bromo mengatakan pendidikan memang
penting.
"Untuk urusan wisata paling tidak supaya saya tidak
dibohongi," katanya yang setiap pagi rajin mencari turis untuk menunggani
kudanya ke kawah Bromo. Dia mengatakan, warga memang patuh atas kebijakan yang
diberlakukan Supoyo, bahkan setelah dia turun dari jabatan kepala desa. Aturan
itu dilanjutkan oleh kepala desa selanjutnya, dan bahkan diikuti oleh desa-desa
di sekitarnya.
"Kalau seandainya ada kasus hamil di luar nikah, ada
hukuman, yaitu membeli semen, batu, pasir untuk membangun desa," kata Aji.
Walau tinggal di desa yang sama, Aji dan Wati tidak saling mengenal hingga dua
tahun lalu ketika mereka tak sengaja berkenalan di Facebook. Setelah bertukar
pesan, mereka lantas bertemu di sebuah hajatan desa.
"Pertamanya gugup," kata Aji mengikat momen itu. "Campur
aduk perasaannya," lanjutnya.
Dalam adat Tengger di Desa Ngadisari, tanggal pernikahan
diatur oleh tetua adat agar tak berbenturan dengan satu sama lain. Aji yang
kemudian yakin dengan pilihannya memberanikan diri melamar. Supoyo mengatakan,
praktik menikah muda di desanya memang terjadi, tetapi tak terlalu banyak.
"Dulu kalau kita biarkan bisa terjadi (tren nikah
muda). Umur 15 tahun sudah ada yang menikah. Itu belum sesuai dengan
undang-undang perkawinan."
"Kalau kita biarkan itu lulus SMP, kan masih 15 tahun.
Makanya (syarat) kita tambah tiga tahun di SLTA agar genap dengan aturan yang
ada itu."
Dalam UU No. 1/1974 tentang perkawinan disyaratkan bahwa
usia minimum perempuan menikah adalah 16 tahun sementara laki-laki 19 tahun
dengan izin orang tua. Menurut badan PBB, UNICEF, pernikahan dini di Indonesia
masih menjadi praktik yang diterima oleh masyarakat dan umumnya terjadi pada
usia 16 hingga 17 tahun. Praktik nikah muda tercatat lebih tinggi di pedesaan
dibanding di kota karena berkaitan erat dengan rendahnya pendidikan (Sumber: kompas.com).
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances